Keajaiban Bernama Marie Kondo

Marie Kondo seperti seorang bidadari yang turun ke bumi. Tepatnya dia turun ke rumah-rumah penduduk bumi yang terlihat rapi di ruang tamu tapi berantakan setengah mati di dalam ruang tidur, dapur, ruang kerja dan ruang anak-anak. Dan kini ia turun dari langit mengunjungi kita melalui saluran digital Netflix.

Nama ini semula mengguncang melalui buku “The Life-Changing Magic of Tidying Up” yang isinya campuran antara semi otobografi, filsafat gaya hidup, beberes dan berbenah, tip membuang barang yang tak dibutuhkan, termasuk tip melipat baju yang praktis. Hingga kini buku yang sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia sudah mempunyai buku sekuel yang jauh lebih detil tentang “seni beberes” berjudul “Spark Joy: An Illustrated Master Class on the Art of Organizing and Tidying Up” .

Tak cukup dengan membangun perusahaan konsultan yang menjadi populer ini, Marie Kondo lantas membuat actuality present berjudul “Tidying Up with Marie Kondo”. Di dalam program ini, Kondo kemudian hadir secara fisik di rumah keluarga-keluarga Amerika yang kebingungan mengatasi rumah yang berantakan. Pelayanan konsultasi inilah yang direkam sebagai actuality present melalui saluran digital Netflix yang mulai tayang awal tahun ini dan langsung saja meledak dan mendapatkan sambutan yang heboh di sosial media maupun di ruang publik. Ada yang mengaku begitu selesai menyaksikan dua episode, langsung mempraktekkan metode Kondo untuk bebersih; ada yang segera mengadakan ‘rapat keluarga’ dan bersepakat menjalankannya metode Marie Kondo bersama-sama agar rumah mereka yang awut-awutan bisa kinclong seperti apa yang terlihat pada akhir setiap episode.

Acara baru ini dibuka dengan persoalan pasangan muda Friend beranak dua balita yang mengaku setelah belasan tahun kawin, mereka jadi saling tegang karena rumah tak pernah rapi saking banyak barang betebaran di mana-mana. Meski pada dasarnya hubungan mereka baik-baik saja, tetapi ketegangan mulai naik jika mereka mencoba mencari sesuatu dan sulitnya setengah mati. Datanglah Marie Kondo yang mungil dan manis beserta asistennya yang berfungsi sebagai penerjemah. Mereka biasanya akan keliling ke semua ruangan satu-persatu. Marie yang dari penampilannya sangat rapi, licin, bertubuh kecil, berwajah manis, berkulit halus bak kue mochi itu tak pernah sedikitpun memperlihatkan raut yang menghakimi atau merendahkan, seberapapun berantakannya rumah keluarga yang dikunjunginya.

Setelah Kondo berkeliling seluruh ruangan, dia menyatakan akan membantu dan ‘berkenalan serta menyapa rumah ini’. Gayanya ‘menyapa’ adalah dengan duduk di atas lantai sambil memejamkan mata, hampir seperti bermeditasi. Hanya beberapa detik, barulah Kondo mulai menguraikan metodenya bebersih yang sudah populer sejak bukunya yang laris manis itu menjadi pegangan: bebersihlah sesuai kategori, jangan berdasarkan ruangan. Pertama: baju dan kawan-kawannya (sepatu, sandal, dan perlengkapan wardrobe lainnya). Kondo meminta pasangan itu menumpuk semua baju milik mereka di satu tempat. Semua! Ini adalah salah satu ‘shock-teraphy’ ala Kondo, karena setiap kliennya pasti terkejut melihat betapa banyaknya baju yang menggunung itu dan sekaligus menyadari bahwa selama ini mereka hanya gemar mengumpulkan dan hanya mengenakan sedikit dari koleksi baju miliknya.

Realiti show Marie Kondo. realliving.com

Bagian berikutnya adalah sesi susah-susah sedap :”peganglah setiap baju atau sepatu, rasakanlah, apakah baju ini memercikkan kebahagiaan (‘sparks joy’, istilah populer Kondo). Jika baju itu memercikkan kebahagiaan, dia boleh disimpan. Jika tidak, ucapkanlah terima kasih pada sang baju dan singkirkanlah.” Sesi kedua adalah menyeleksi buku; lantas menyisir dokumen dan kertas-kertas. Lantas yang paling berat dan banyak adalah Komono, alias Pernik-pernik Dapur, Kamar Mandi dan Garasi. Terakhir, tak kalah sulit dan menyakitkan: menyeleksi barang-barang penuh kenangan (baca: tak berguna secara praktis tetapi melekat di hati karena makna kenangan). Itu semua harus dilalui setiap pekan dengan kunjungan Kondo yang rutin sekaligus mengecek ‘pekerjaan rumah’ pekan lalu.

Untuk sebagian orang ini proses yang asyik dan gampang: menyingkirkan barang yang begitu banyak adalah sesuatu yang menggembirakan. Tetapi dalam kasus setiap pasangan yang dikunjungi Kondo, pasti salah satu akan mengalami proses yang menyakitkan. Seperti pasangan Wendy dan Ron Akiyama, pasangan campuran Jepang -Amerika ini juga mengalami kesulitan berpisah dengan benda-bendanya yang banyak hingga kamar mereka nyaris seperti gudang. Wendy mengaku gemar mengumpulkan baju hingga ketika ditumpuk, hampir saja mencapai langit-langit kamarnya. Sebaiknya Ron, suaminya amat mudah menyingkirkan baju-bajunya yang tak muat pada tubuhnya. Tetapi ketika harus menyingkirkan tumpukan koleksi kartu baseball Ron, sang suami mengalami krisis.

Jika mengalami kesulitan seperti ini, Kondo mempunyai tip berikut: “pikirkanlah, apakah Anda ingin barang tersebut menjadi bagian dari masa depan Anda? Jika ya, simpanlah, jika tidak, maka ucapkan terima kasih pada jasanya menemani Anda dan transfer on.”

Gaya Kondo yang halus, manis tapi meyakinkan itu selalu manjur. Tak ada yang dipaksa, tak ada yang diomeli, karena metode Kondo adalah: si pemiliklah yang harus memutuskan, bukan orang lain. Bukan Kondo, dan bukan pula anggota keluarga lain. Bahkan jika ada salah satu pasangan yang ikut mengomentari pasangannya, Kondo akan menengahi agar setiap orang harus fokus pada barangnya dan membiarkan setiap anggota keluarga melalui prosesnya masing-masing.

Seperti saat mengunjungi keluarga Mersier, sebuah keluaga musisi Afro-Amerika yang rumahnya penuh dengan alat musik, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Keluarga ini memiliki dua anak yang sudah menanjak pubertas sehingga sudah bisa diajak beberes bersama. Tetapi seperti kata si sulung “setiap kali kami mencari barang, kami sangat tergantung Ibu.” Sang suami, si musikus bahkan berkata “saya tak pernah memasak atau mencuci baju”. Maka Kondo membuat aksi bebersih ini sebagai kegiatan keluarga dan “setiap anggota keluarga punya tugas dan kewajiban masing-masing”.

Ini terapi yang lebih tinggi lagi, karena seperti dikatakan si musikus, “saya baru menyadari betapa tugas isteri di rumah saya ternyata luar biasa berat.” Bahwa Kondo secara tak langsung membongkar sebuah susunan tradisional di mana lelaki cari duit dan sama sekali tak mengurus pekerjaan rumah tangga, sedangkan sang ibu mengurus segalanya dari A sampai Z di rumah (sekaligus bekerja juga, saudara-saudara), adalah gebrakan halus yang mengagumkan.

Tentu saja tak semua orang menyukai kesuksesan Marie Kondo. Mereka yang hanya menyaksikan episode awal atau hanya sekilas saja, berkomentar pedas kiri kanan melalui sosial media maupun berita bahwa “bagaimana bisa dia menyarankan agar kita membuang buku? Tidak!”

Yang tidak dipahami para kelompok ‘nyinyirisme’ yang tak membaca atau menyaksikan acara ini secara penuh: Konmarie—demikian sebutan metode Marie Kondo—tak pernah memaksa setiap orang membuang barangnya. Dia hanya menganggap sebaiknya Anda dikelilingi barang yang ‘mencipratkan kebahagiaan’. Tetapi, kata si tuan nyinyir, ‘bukankah buku tak selalu menyipratkan kebahagiaan? Bukankah banyak buku yang isinya sedih dan bahkan kelam?” Lah, dengarkan dulu kalimat Bu Kondo sampai selesai. Bacalah dengan baik, atau tontonlah acaranya dengan teliti. Menurut beliau, untuk buku, kita tentu harus menyimpan buku-buku yang kita anggap memiliki pemikiran yang mendalam, yang membuat kita merenung. “Sparks Joy” dalam hal buku tak berarti ‘riang gembira’, tetapi juga ‘sesuatu yang sangat bermakna’.

Acara ini juga terlihat ingin inklusif memperlihatkan penduduk Amerika yang beragam. Bukan saja mereka memilih berbagai pasangan dari macam-macam ras dan etnik, tetapi juga mereka tak hanya menampilkan pasangan heteroseksual. Ada pasangan homosexual Frank dan Matt yang butuh bimbingan Kondo karena orang-tua yang akan datang berkunjung. Ada pasangan Angela dan Alicia, yang baru saja menikah dan pindah ke apartemen baru dengan dua anjing dan satu kucing yang butuh saran bagaimana menyisir barang-barang mereka berdua yang segunung. Ada lagi Margie, yang suaminya, Rick, baru saja meninggal hampir setahun lalu dan ingin menghadapi kesendiriannya dengan menyisir barang-barang mereka bersama.

Semua keluarga dituntun dengan sabar, penuh empati sekaligus penuh humor. Sulit untuk tidak menyukai sosok Marie Kondo yang kecil mungil, ramah tapi memiliki aura otoritatif yang meyakinkan. Tetapi yang penting, hasil akhir dari acara beberes ini ternyata bukan sekedar rumah yang bersih dan terorganisir, melainkan juga Kondo sekaligus menanamkan sebuah gaya hidup yang terasa memudahkan dan membuat hubungan setiap anggota keluarga menjadi lebih nyaman dan menyenangkan. Seperti dikatakan Kondo pada salah satu pasangan, ‘keajaiban itu bukan dari saya, tapi dari Anda sendiri yang bersedia membereskan dan mengorganisir rumah yang berarti membereskan hidup Anda.”

TIDYING UP WITH MARIE KONDO

Kreator: Marie Kondo

Produksi: Netflix dan The Jackal Groups

Produksi Eksekutif: Gail Berman, Marie Kondo, Scott Mlodzinsky